Tampilkan postingan dengan label Storystory. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Storystory. Tampilkan semua postingan
Selasa, September 25

Ada saat dimana semua akan menjauh dan menyalahkan

0 komentar

Namaku Elgad, umurku 17. Dari SD sampai saat ini aku selalu menjadi ketua kelas. Entah kenapa teman-temanku selalu memilihku untuk menjadi ketua kelas. Mungkin tidak ada teman-temanku yang lain yang mereka percayai menjadi seorang pemimpin kelas. Atau mungkin karena mereka ingin aku yang mendapatkan hukuman dari guru jika kelasku melakukan kesalahan. Karena ketua kelas memiliki tanggung jawab atas kelasnya, jadi saat guru tidak tahu siapa yang salah maka akan dia salahkan aku sebagai ketua kelas.
            Saat aku kelas enam sd, yang tahun depannya aku lulus dari sekolah sd ku yang asri penuh taman dan tumbuhan yang rindang. Disana sini lingkungan bersih. Tentu saja bersih, karena kepala sekolah kami sangat peduli terhadap kebersihan. Bahkan saat pertama kali dia menjadi kepala sekolah, hal yang pertama dia lakukan adalah mengajak siswa untuk menjadikan sekolah SD sebagai green school atau sekolah hijau, dan hampir saja kawan-kawanku menjadikan sekolahku benar-benar hijau semua. Kasus ini bermula saat hari ulang tahun temanku Rami. Temanku yang lain seperti Dafa, Faruh dan Dela merencanakan sesuatu untuk ulang tahun temanku ke sebelas untuk Rami.
            “Hoi, hari ini Rami ulang tahun. Coba cek di facebooknya deh”. Celetuk Dafa asal.
            “Mau kita apain nih”. Dengan senyum jail Faruh menimpali asal juga.
            “Kita jadiin dia kaya pahlawan super dari Marvell”. Jawab Dela dengan asal juga.
            “Pahlawan super apaan yang dari Marvell? Gatot kaca?”.Timpalku ikutan asal.
            “Gatot kaca mah Marwa, Manusia kekar jawa”. Semakin asal Faruh menjawab.
            “Yeh kamu mah”. Responku yang asal keluar juga. Tanpa pikir panjang lagi, aku pergi meninggalkan percakapan yang asal ini. Khawatir akan menghasilkan keputusan yang asal juga. Aku menoleh ke belakang tempat tadi, tempat dimana tiga bocah bercakap asal. Ketiganya langsung mengerubung menjadai satu, menjinjitkan kaki mereka untuk dapat saling mendekatkan kepala mereka ke tengah meja yang besar.
            Siang itu juga, selepas pulang sekolah. Seperti biasa aku pulang terakhir menunggu teman-temanku pulang duluan. Rami masih duduk di samping mejaku, membereskan peralatan sekolah yang dia bawa. Terdengar olehku bisik-bisik dari bangku belakang. Sudah kuduga itu tiga bocah tadi yang bercakap asal.
            “Apa yang kalian lakukan dibelakang sana. Kalian belum pulang”. Tanyaku menerawang yang mereka lakukan.
            “Kita lagi punya rencana ni, yang lain pasti nyesel pulang duluan, sebentar lagi kita akan kedatangan tamu dari Marvell”. Jawaban Dela yang cukup tidak asal. Aku hanya mengangkat alisku dan menarik nafas panjang. Terheran apa yang akan dilakukan anak-anak dua belas tahun itu.
            “Elgad, aku pulang duluan ya”. Sapa Rami. Aku hanya tersenyum tanda mengiyakan. Ruangan kelas telah sepi, hanya suara angin sepoi-sepoi yang terdengar bergerak melalui celah jendela. Aku ikut keluar dari kelas, tugasku sebagai ketua kelas telah selesai untuk hari ini.
            “OAAAaaaauAauauAuuauU...”.Tiba-tiba suara teriakan histeris terdengar. Yang kukenal itu suara Rami. Aku rasa tiga bocah tadi sedang beraksi. Aku keluar kelas, lalu memandang sekitar. Aku mendelik ke samping. Tembok sekolah menjadi punya motif baru. Motif hijau, dengan corak yang asal. Rupanya kedatangan pahlawan Marvell harus dengan tembok bercorak hijau. Sungguh merepotkan.
            Aku langkahkan kakiku lebih jauh menuju lapangan sekolah. Semakin terdengar suara gelak tawa para bocah. Dari tempatku berdiri aku melihat sesosok makhluk setinggi tubuhku, penuh cairan berwarna hijau. Berlari menuju kawan-kawanku yang terus tertawa. Tercium bau pandan menusuk saraf hidungku. Aku tahu, itu siapa. Itu pahlawan dari marvell yang terkenal, Buto Ijo. Aku langsung berlari menuju teman-temanku yang asyik tertawa. Aku ikut tersenyum atas teman-temanku.
Aku tahu itu Rami yang dijadikan Buto Ijo oleh teman-temanku. Aku panggil si Rami dengan nama itu.
“Hai Buto Ijo”. Ceplosku ke arah Rami. Tiba-tiba semua orang  mendadak terdiam, dengan wajah melongo. Termasuk tiga bocah tadi  dan aku ikut ekspresi mereka. Mereka memandangku sejenak kemudian mereka kembali tertawa dan lebih keras dari sebelumnya. Aku ingin ikut tertawa, namun bingung apa yang harus aku tertawakan. Kini semua memandang padaku dengan tawa mereka.
“Mana ada buto ijo dari Marvell”.
“Oh gitu ya, lalu apa maksud kamu pahlawan marvell itu?”.
“Itu Hulk namanya”. Jawab Rami yang ikut senang terhadap perayaan ulang tahunnya. Walaupun baju putih merahnya menjadi hijau.
“Ehmm, siapa yang bertanggung jawab atas berubahnya warna tembok ini”. Suara yang terdengar berat terdengar samar-samar diatas tertawaan kami. Semua langsung hening sunyi. Menoleh ke arah kanan yang sudah berdiri tegak bapak kepala sekolah.
“Biasanya ketua kelas pa”. Seorang siswa nyeletuk.
“Elgad, bisa kamu jelaskan apa yang terjadi?”. Aku hanya  mengalah, lalu menjelaskan secara detail kejadiannya, ditemani tiga bocah asal tadi.
Keesokan paginya, sekolahku sudah benar-benar hijau. Entah kenapa tembok sekolahku menjadi hijau. Aku tak disalahkan atas kesalahan kemarin. Yes. (To be Continued)
Continue reading →
Kamis, Desember 29

Gak Penting sih Tapi...

0 komentar
H aiii… Pesan ini disampaikan oleh penulis MEMO 44:13

MEMO 44 13 sebenarnya sebuah plesetan aktivitas di salah satu sekolah di Indonesia. MEMO 44 13 menceritakan para siswa yang sedang merencanai persembahan sebuah kegiatan  bagi kelas 3 yang akan lulus dari sekolah. Bagi warga sekolah beberapa akan tertawa dan terbayang-bayang, namun saya yakin bagi beberapa pembaca ada yang menilai cerita ini biasa saja. Saya sedang mencoba merangkai cerita agar bisa dinikmati semua orang. Rasanya akan sangat baik jika dari pembaca mengirimkan kritik yang membangun bagi saya. Saya berucap terimakasih kepada yang meresponnya.

Bagi yang menunggu kelanjutan MEMO 44 13, harap sabar. Karena cerita selanjutnya tidak akan lagi terbit di tahun-tahun dekat ini. Saya meminta maaf jika anda benar-benar menunggunya. Namun insya allah cerita MEMO 44 13 tetap akan diterbitkan walaupun waktunya masih agak lama. Saya hanya ingin menerbitkannya pada moment yang benar-benar tepat. Terima kasih kepada anda yang menyukai cerita ini dan ini membuat saya senang.
Sekali lagi saya meminta maaf jika tidak bisa menerbitkan kelanjutan MEMO 44 13 pada waktu dekat. Dengan segala hormat saya ucapkan terima kasih.
Continue reading →
Senin, September 5

MEMO 44 13 Part 1

4 komentar
          “Jadi koordinator acara pepisahan ya, gak ada orang lain lagi ni”
          “Tapi...tapi…tapi nanti nilai gue gimana, katanya para koordinator acara tahunan ini suka mentok nilainya. Nilai gue yang sekarang ini udah mentok, apalagi kalau jadi koordinator acara, jadi gak nyampe malah” Keluh kesah Galang kepada Balma sang ketua acara yang sedari tadi membujuknya.
          “Elaaah…santai aja kali, daripada gak ada yang bisa dan mau jadi koordinator. Gue butuh koordinator acara yang asik, biar anggotanya asik, acaranya juga jadi asik. Ayo dong…Aqab udah gue tawarin, tapi dia gak mau. Lo aja ya…” Serang Balma dengan wajah yang sok seriusnya.
          “Yaudah deh, gak apa-apa. Mungkin ini bisa jadi motivasi buat belajar gue.” Galang menyerah dengan senyum di wajahnya yang sangat terpaksa.
          “Apa yang harus gue lakuin buat sekarang.”
          “Cari anggota cowo dan cewe, harus udah dapet minggu depan. Jangan ditunda lagi ya…Pleno tiga minggu lagi nie…”
          Mereka berjalan berdua. Mengobrol tentang acara persembahan mereka untuk kelas tiga yang akan lulus dari sini. Sambil menikmati sore di lingkungan sekolah Boarding mereka. Mega-mega oranye menghiasi kepulangan menuju asrama gedung Einsten. Asrama yang dihuni dua ratus orang siswa kelas sepuluh dan sebelas SMAIT Intelegensia Cakrawala. Terdiri dari empat orang di setiap kamarnya. Cat putih menempel di dindingnya hingga lantai tiga. Gedung itu tidak teralu ramai. Ditinggalkan oleh penghuninya yang pergi mencari ilimu. Terkadang gedung ini akan selalu sepi hingga bel jam setengah enam dibunyikan. Pertanda siswa harus bersiap untuk salat maghrib berjamaah di mesjid.
          Bibir Galang memble keluar, menikmati aliran air yang jatuh dari gayung diatas kepalanya. Kepenatan terasa raib oleh aliran itu. Otak yang panas setelah berpikir tadi siang saat ulangan matematika dan fisika, kini terdinginkan oleh suhu air yang rendah. Brrrr…ucapnya. Dia masih memikirkan semuanya tentang sekolah ini dan dirinya. Pelajaran yang banyak, organisasi yang ribet, makanan yang kurang banyak, guru yang aneh ngasih tugas, teman sepermainan, kamar mandi, Fredi yang menyebalkan, tergambarkan semuanya dalam nyanyian mandi sore yang galau dan fals.
          “Mengapaaaa…aku beginiiii…Jangan kaaaauuu…pertanyakaaaannn…”
          “Bila ku mandiii….kau juga mandiii…”
          “Apaan sih FREDI…Ngikut-ngikut!!!” Galang selalu tidak senang jika Fredi teman kamarnya yang menyebalkan, mengikutinya terus. Fredi memang selalu mengikuti Galang. Dia seperti nge-fans kepada teman sekamarnya ini.
@@@

          Allaaaahuakbar…Alaahuakbar…Qomat maghrib dikumandangkan. Baru saja Galang, Fredi, dan Aqab yang sekamar berangkat ke mesjid dengan terburu-buru.  Agar tidak terkena hukum push-up oleh satpol-PP. “Satuan penghukum orang-orang lambat-pol…pol”. Satpol PP ini dari OSIS. Orangnya lucu-lucu dan imut-imut. Para siswa tidak takut dengan mereka, tapi semua siswa sadar bahwa harus menegakkan hukum yang dibuat bersama. Sehingga tidak boleh telat satu rakaat pun untuk ke mesjid. Namun tiga orang ini dan beberapa lainnya, telat satu rakaat penuh. Saat salat pun mereka berkeringat dan ngos-ngosan, karena lari menjemput rukuk rakaat kedua. Dasar memang lambatnya pol-pol. Jangan ditiru…
          Waktu makan tiba. Para siswa pergi ke parasmanan yang biasa mereka tempati untuk makan pagi, siang, dan malam. Meja berjejer rapi. Satu Gedung ini muat untuk 500 orang. Satu meja bisa diduduki oleh sepuluh orang. Tapi satu kursinya hanya bisa satu orang. Ruangan ini penuh dengan siswa dan siswi. Siswa di sebelah kanan dan siswi di sebelah kiri gedung. Ditutupi oleh hijab yang tipis. Galang dan kawannya selalu duduk paling dekat dengan hijab tipis itu. Tidak seperti Fredi yang kadang jauh dari hijab dan duduk dengan kakak angkatnya disini. Kak Dulur namanya.
          “Eh…Akhru…kasih nama donk buat anak acara ini. Gue butuh empat orang cowo dan lima orang cewe.”
          “Mmmm…bentar..bentar. Euuu…mungkin si Ahmad, ketua kelas lo. Ato si Aqab temen sekamar lo. Gimana?”
          “Oh…ya..bagus juga deh, tapi gue butuh dua orang lagi, siapa ya. Gue butuh anak-anak yang asik dan enak dipandang. Biar nanti kakak Lunarisnya gak pada kabur. Kalau cewe siapa?. Gue gak terlalu kenal dan hafal cewe yang asik di angkatan kita. Juga yang enak dipandang tentunya. Hehehe…”
          “Mungkin, lo harus nyari koordinator cewenya dulu. Biar nanti milih ceweknya dia aja.”
          “Oh…ya…bener juga ya.”
          Galang mulai menyusun kawan kerjanya. Mulai dari yang cowok hingga yang cewek. Hari demi hari telah terlewati. Namun Galang sama sekali belum menarik temannya untuk menjadi anggota.
          “Waddduuuuhhh…gimana nie… dua minggu lagi Pleno. Balma…lo cariin koordinator cewenya ya…Tolong…!!!gue gak tau sifat aseli mereka.” Galang memindahkan pekerjaannya pada Balma. Galang memang sulit untuk mengenal cewek disini. Padahal mereka setiap hari bertemu di kelas dan OSIS Peraturan sekolah membatasi komunikasi antara ikhwan dan akhwat. Sehingga cukup sulit untuk Galang mengenali mereka. Galang pun bergegas mencari anggota cowoknya.
          “ Izzu, Ahmad, Aqab, Roy, dan Tria mau jadi anak acara gak?”
          “Gue mau deh. Hehehe…”
          “Terserah lo aja deh Lang.”
          “Oke deh, gue mau jadi anak acara. Makasih ya…lo udah mau jadi koord.nya”
          “Gue udah jadi bagian koordinator kostum Lang”
          “Bentar ah…gue masih males ni..”
          “Triaaaa…Ayo dong ikut berkontribusi buat acara angkatan kita. Lo jadi PLKP gak mau, jadi seksi properti gak mau…ditawarin jadi anak acara gak mau juga.? Ayo donk…ga ada orang lagi.”
          “Yaudah deh…gue mau.”
          Kawan kerja cowonya telah terpilih. Tinggal ceweknya yang dia serahkan koordinatornya kepada Balma. Galang pasrah terhadap siapapun yang jadi partnernya kelak. Dia percaya terhadap pilihan Balma.
          “Oke lang, gue udah dapet dan udah gue tawarin. Dia mau jadi koordinator acara. Namanya Ulfa. Dia kelas sepuluh empat. salah satu anggota IMTAQ OSIS.”
          “Kenapa lo milih dia?.”
          “Kata temennya dia asik dan tukang ngejayus, terus ga ada cewe asik lain yang mau jadi koordinator. Sebenarnya ada sih, Cuma entar lu…muntah lagi liat dia.”
          “Oh…si Medi ya…Gak ampe segitunya kali…lebay banget sih lo.”
          “Cepetan lang, lo cari anggota cewenya, lo sering tanya aja sama partner lo…”
          “Oke deh…”
          Koordinator cewek telah terpillih. Sejenak beban pikiran berkurang. Bernafas lega. Dingin AC melewati kepala Galang yang gondrong. Galang masih mencari nama di otaknya. Dia melihat cewek-cewek teman sekelasnya. Kerutan wajah di dahi Galang muncul seiringan dia melihat kawan-kawannya.
          “Kayaknya gue harus tanya Ulfa ni…”Gumamnya sendiri dalam kelas.
          Bel istirahat berbunyi. Menandakan saatnya para siswa keluar kelas untuk salat dzuhur berjamaah di mesjid. Sebelum ke mesjid, Galang bergegas ke depan kelas sepuluh empat. Bertemu dengan Ulfa.”
          “Eh…Ulfa…kamu udah ada nama buat anak acara yang belum bernama ini?”
          “Aku belum dapet nama yang pas sih, kalau kamu yang mau tentuin, gak apa-apa deh. Oh…ya Galang, nanti sore ada kumpul semua koordinator acara ini. Cowok-cewek di mesjid.”
          “Oh…yaudah atuh nanti aku dateng. Cari nama juga buat anak acara ceweknya ya…!”
          “Iya…insya allah.”
          Galang pergi menuju mesjid dengan langkah kakinya yang panjang. Kebiasaan jalannya jika dia jalan sendiri. Galang masih bercakap-cakap sendiri dengan otaknya. Mencari solusi atas permasalahan yang dia hadapi.
          “Koordinator ceweknya alim banget gak sih?”
          “Engga ah biasa aja, diakan anak IMTAQ OSIS.”Beginilah Galang bergumam sendiri dengan pikirannya.
          @@@
          Galang melempar tas sekolahnya diatas meja belajarnya di kamar 312 tempatnya. Mengganti pakaiannya dengan yang tipis. Galang duduk di kursi belajarnya, mengambil cermin lalu bercermin. Melihat wajahnya yang sudah mulai tua. Tapi masih sedikit berjerawat.
          “Waduh…kayaknya gue harus face off ni.”
          “Assalamualaikum.” Izzu masuk ke kamar. Biasanya dia mencari Fredi untuk dimintai makanannya  yang sekotak besar.
          “Waalaikum salam. Nyari siapa Zu? Fredi belum dateng, masih di Lab. Siswa lagi ngerjain tugas*.”
          “Oh…engga nyari Fredi sih, gue nyari makanannya. Eh Lang, gimana anggota ceweknya, udah dapet yang mantap-mantap?” Izzu nyengir melihat Galang yang sedah ngaca.
          “Belum nih Zu. Gue masih bingung si. Lo yang milih aja ya. Lo kan ganteng, jadi kalau lo yang nawarin, pasti pada mau.”
          “Yaudah deh, tar gue kasih nama-nama cewek buat lo. Empat orang doank kan? Pasti mantap-mantap pilihan gue mah lang.”
          “Iya deh, gue percaya.” Galang meminta bantuan kepada Izzu yang selalu semangat dengan urusan akhwat. Kadang Galang pun ikut-ikutan mengobrol dengan Izzu tentang hal-hal yang menyangkut keremajaan ini. Dasar anak muda!
          “Lo gak ngumpul koordinator di mesjid sama BPH?, tadi gue liat para koordinator kumpul di belakang mesjid.” Izzu mengingatkan.
          “OH yaaa… gue lupa kalo hari ini ada kumpul sama koordinator yang lain.” Galang langsung bergegas kembali mengganti bajunya. Berlari keluar kamar menuruni tangga dari lantai tiga. Dia tidak mau ketinggalan untuk pencarian nama ini.
          Di belakang mesjid telah duduk berkumpul para koordinator acara dan BPH acara. Sepertinya telah dimulai sejak tadi selesai salat ashar.
          “Sorry gue  telat. Gue lupa kalo ada kumpul.”
          “Yaudah gak apa-apa, kita kumpul disini untuk mencari tema serta nama untuk acara ini. Kalau bisa yang ada sangkut pautnya sama dua angkatan ini, Sillnova dan Lunaris. Ini adalah acara pertama yang dilakuin kelas sepuluh secara bersama-sama dalam setahun sekali buat bekal jadi OSIS tahun depan. Jadi jangan sampai acara ini gatot. Gagal Total.” Balma mulai menceramahi agar mereka semangat menjalani acara ini. Yang akan menyita waktu, dan akan menambah tugas di sekolah ini yang sudah padat dengan ekskul dan kegiatan akademik lainnya.
          Banyak ususlan bertebaran. Sebagai awal mencari nama, mereka akan mencari tema acara. Dimensi, angkasa, black, waktu, task, taman impian, ide-ide semua orang dikeluarkan dan dirundingkan untuk penentuan ini. Sangat alot! Wajah anak-anak ini terlihat serius. Laki-laki maupun perempuan memperhatikan temannya yang sedang mempresentasikan usulannya. Beberapa koordinator menahan dagunya oleh tangan-tangan. Yang lain duduk bersila, tengkurep, menyender ke tiang mesjid, menguap. Rasa capek yang bersumber dari kegiatan sekolah, begitu terlihat. Namun, mereka berusaha untuk tetap berkonsenterasi menjalankan kegiatan terakhir di sore ini.
          “Oke…mungkin hari ini kita ambil tiga tema dulu untuk selanjutnya diseleksi lagi. sementara ada tiga tema yaitu waktu, taman impian, dan task. Besok kita kumpul lagi, dan nanti setelah dari sini, jangan lupa tetap mencari nama unutk acara…”
          Bel setengah enam telah terdengar, bersamaan berakhirnya rapat. Para koordinator pun bubar dari mesjid. Berjalan bersamaan dengan siswa yang lain menuju gedung tempat masing-masing. Yang perempuan ke arah  timur, yang laki-laki ke arah utara. Gedung mereka terpisah oleh jarak yang jauh. Di batasi oleh kantor satpam dan juga taman yang rindang. Burung-burung kecil berterbangan mengitari Galang yang sedang berpikir dan mencari nama untuk anggota cewenya. Tapi tidak berpikir sekeras dulu, karena ada Izzu yang membantunya mencari.
Continue reading →
Minggu, Agustus 21

Bayang-Bayang

2 komentar
            Matahari mencuat dari sarangnya.Sang ayam berkokok menyambut kedatangannta. Seakan semua unsur bersuka menyambut sang mentari pagi. Garis terang gelap cahaya matahari menempel di wajah sang putri. Mengggeliat menyambut sinarnya. Mengucek kedua mata bulatnya. Menarik nafas dalam-dalam meregangkan ototnya. Mengumpulkan semua nyawanya yang hilang tadi malam.
           “Bangun Nuuur!!! Udah pagi. Cepet berangkat sekolah! Kamu telat kalau sekarang masih tiduran kaya gitu.”. Rani berteriak seperti biasa. Memarahinya selalu. Membentaknya sering. Tapi ini semua wajar. Nur adalah anak kedua dari dua bersaudara. Rani kakaknya. Bapak kabur entah kemana. Mama terlalu muda untuk stress. Keluarga ini kacau balau. Mama sudah sangat memprihatinkan. Beliau tak bisa apa-apa. Fisiknya memang sehat tapi, sudah tak waras. Rani dan Nur tetep mencintainya walau begitu. Karena dialah yang dulu pernah melindungi mereka dari bapak yang kejam. Bapak rela meninggalkan keluarganya hanya demi nafsu semu belaka. Rani dan Nur pernah hampir dibunuhnya karena hal sepele. Untung ada ibu melindungi mereka. Sudahlah, ayah memang sang pemabuk sejati yang dapat membahayakan siapapun jika dia sedang.
            “Iyaaa…aku dah bangun nhe”. Nur membalas membentak Rani. Mereka tak pernah akur.
            “Cepetan mandi.” Rani menarik tangan Nur dengan kasar hingga menjatuhkan tubuh Nur ke lantai rumah yang dingin.
           “Aduh…Sakit wooy.”
            “Udah jam setengah tujuh!”
             Nur berjalan bergontai. Penuh kemalasan menuju hari ini. Berbalik dengan yang lain. Dia selalu berpikir hidupnya layak sampah tak berguna. Memang kasian Nur ini. Banyak siksaan hidup menemuinya. Hidup penuh dibawah tekanan. Bapaknya yang kejam, ibunya yang sakit, kakaknya yang galak, orang-orang yang selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya. Dia paling benci jika dibandingkan dengan kakaknya. Dia tahu kakaknya lebih pintar darinya, lebih cantik darinya, lebih lebih darinya. Dia hanya ingin,”aku ya…aku, aku beda sama Rani.” Tapi orang tidak mengindahkannya.
           Sarapan pagi selalu biasa. Nur membuat sarapannya sendiri. Nasi dan garam dapur. Nur dan Rani dan Mama sudah biasa hanya makan nasi dan garam. Karena dulu bapak tak pernah membari lebih. Mama sudah banyak bersabar hingga otaknya pun sudah tidak waras. Terkadang Nur prihatin juga melihat mamanya tiap hari terdiam. Diajak ngomong hanya diam. Dia sangat sedih. Nur yang keras hanya berpikir “Kenapa mama mau menikah dengan lelaki seperti bapak.” Nur tak pernah mengerti.
                                                                      # # #
           Seragam putih biru menempel di tubuh Nur. Seragam itu rapi, padahal Nur tidak punya setrika listrik yang canggih. Nur duduk di SMP. Prestasinya tak begitu membanggakan, tak seperti kakaknya di SMA sebrang sana. Dia suka main dengan anak-anak berandal. Tapi ketika pulang sekolah, Nur jarang bermain bareng mereka. Nur lebih sering diam dirumah.
          “Nur, malem minggu maen bareng yuk! Jalan-jalan bareng temen-temen.” Ajak Erna si Darah biru di Gengnya.
          “Aku gak bisa maen malem-malem Erna. Si Rani suka ngelarang aku habis-habisan supaya gak keluar rumah malem-malem. Apalagi kalau buat maen doank. Dia bakalan nahan lebih jauh.”
             “Elah…Rani doank. Kenapa si dia ngelarang kamu habis-habisan. Kamu kan punya hak sendiri. Gak bisa dibatesin sama dia donk. Itu melanggar HAM.” Celoteh Erna sok tau.
           “Tau ah! Kesel sama si Rani.”
           “Yaudah deh, nanti malem minggu aku jemput ke rumahmua. Bareng banyak temen, supaya Rani malu. Kalau dia marah-marah di depan kita.”
           “Semoga aja bisa. Tapi mungkin, bisa dicoba. Oke deh, tunggu nanti malem ya.” Nur tersenyum. Dia tidak sabar untuk malam ini. Erna akan datang menjemputnya dan dia bisa keluar dan bebas dari rumahnya dan dari Rani tentunya. Nur begitu berambisi. Untuk mencapai kebebasannya. Nur memang tidak pernah tahu apa-apa. Padahal dia adalah seorang putri. Bagian yang sangat berharga jika di kerajaan. Tidakkah dia memperhatikan? Mungkin, dia terlalu sibuk untuk berpikir karena selalu dimarahi Rani yang sangat kejam.
                                                                  # # #
              Matahari telah raib di langit sana. Langit pun gelap. Ditempeli bintang sebagai sebagai hiasnya dan bulan yang menggantikan matahari. Angin hilir mudik melewati telinga dan rambut Nur yang panjang. Nur terus nongo di luar jendela. Terus menunggui Erna dan gengnya. Ini merupakan pertama kalinya Nur berencana main dna keluar malem. Dia selalu merasa takut karena Rani. Kini Nur bertekad. Dia ingin mendapatkan haknya. Tidak mau terus diatur layaknya anak-anak.
               “Nur…!!! Ayo maen.” Terdengar suara Erna mengendap ke gendang telinganya. Nur melihatnya dari jendela. Nur langsung turun dari kasur kerasnya dan lari menuju pintu rumah.
           “Mau kemana?” Rani bertanya dengan duduk santi menonton televisi kecil yang hitam putih. Meminum teh hangatnya. Menyipitkan matanya ke arah Nur.
           “Aku mau maen sama temen yang laen. Bosen aku di rumah terus.” Nur menjawab sambil berlalu ke arah pintu rumah. Rani tersenyum licik melihat adiknya.
           Nur telah sampai di depan pintu rumahnya. Memegang gagang pintunya. Dia bergetar, Rani tidak menghalanginya untuk memegang gagang pintunya. Nur mendorong pintunya. Tertahan dan keras tak terbuka. Terkunci. Nur tidak menyadari pintunya terkunci. Daia terlalu berharap bisa keluar dari sini. Nafasnya menjadi terengah-engah. Ujung bibirnya yang tadi keatas, kini berubah kebawah dan tak berbentuk.
           “Mana kuncinya Ni? Aku pengen keluar sama temen yang laen. Mereka udah nungguin aku di luar. Cepetan mana kuncinya.” Teriak Nur ke arah Rani. Wajahnya tambah keras. Dia sudah tidak sabar. Matanya menajam menatap Rani yang sedang santai menikmati malamnya sendiri.
           “Kenapa tanya aku, aku gak tau dan dari tadi aku duduk disini gak liat adanya kunci. Cari aja sendiri sana.” Jawab Rani mengejek Nur. Rani tak pernah mengizinkan Nur pergi keluar malam.
           “Bohong!!! Jangan ngelarang aku buat maen. Aku punya hak yang gak bisa ditahan sama orang laen. Jangan maksa sama ngatur aku terus, aku bukan anak kecil lagi. Tau gak sih!” Nur marah besar dan berteriak begitu saja kepada kakaknya.
           “Hak apaan sie? Kamu memang punya hak, tapi kamu memang belum gede, masih kecil. Jangan sombong de! Baru 14 tahun aja udah belagunya minta ampun. Udahlah…kamu dirumah aja, jangan kemana-mana.” Bentak Rani tak kalah kerasnya.
           Tiba-tiba Nur terdiam. Matanya berkaca-kaca. Hidungnya perih. Dia tidak tau mengapa seperti ini. Akhirnya dia tidak bisa menahan lebih lama lagi. Nur meledak dan menangis. Tidak bisa berkata-kata lagi untuk membalas Rani. Nur berlari ke kemarnya. Menjatuhkan diri ke kasurnya yang keras. Membanting pintu kamar. Sendirian. Berpikir, kenapa Rani begitu menahannya padahal dia bukan ibunya. Kenapa hidup ini terasa tidak adil baginya. Dia tersiksa, dia ingin seperti Erna yang bahagia dengan keluarganya.
           Erna dan gengnya masih menunggu di depan pagar kayu rumah. Nur menatap ke luar jendela. Menyapu air matanya yang jatuh ke pipinya. Jendela!!! Pikirnya. Jendela ini cukup untuk meloloskan tubuhnya. Tekad Nur masih ada. Dia ingat Rani, tapi kini dia membencinya sangat, tidak mempedulikannya lagi. Nur ingin bebas menari-nari di bumi melihat keindahan dunia luar yang belum pernah dia lihat. Nur sudak tidak tahan berdiam disini. Mengganti bajunya lalu melompati jendela kamar dengan perlahan. Mengendap menuju pagar rumah agar Rani tidak mendengar suara dari luar. Membuka pagar dengan perlahan. Menyuruh Erna untuk diam. Berhasil!!! Dia diluar rumah sekarang. Erna dan gengnya bergegas menyalakan mesin motornya. Nur pun berlalu dengan dibonceng Erna.            Dia menatap ke belakang dan tertawa berbahak dengan yang lain. Nur senang tak terkira. Walaupun akhirnya dia sadar dia akan di marahi habis-habisan oleh Rani saat pulang. Tapi dia ragu untuk kembali.
           Tibalah Nur dan kawan-kawannya di sebuah tempat sepi. Nur sedikt takut. Tapi Erna dan lima teman lainnya hanya tertawa dan saling bercerita. Tempat itu gelap, sudah dihidupi lumut dindingnya. Ini rumah bekas yang tidak digunakan lagi karena kebakaran. Terletak jauh dari kumpulan warga. Menyendiri di samping jalan di tengah kebun jati. Sekitarnya terlihat, semak-semak berkumpul menunduk dari sinar bulan.
           Erna mengajak duduk Nur. Geng duduk berputar. Membentuk lingkaran, Nur berbaur dengan mereka. Erna tersenyum berusaha membuat suasana seram ini menjadi kegembiraan di malam minggu. Salah satu anggota geng menyalakan musik dan speaker yang dinyalakan keras-keras. Musik hardrock yang metal diputarkan. Beberapa mengangguk-angguk mengikuti irama. Nur mencoba gembira dengan mereka. Akhirnya Nur bisa masuk dan bergembira disini. Erna mengeluarkan makanan dari tansnya. Semua makan dan mengobrol hal yang tak jelas. Makanan ini enak pikir Nur.
           “Ayo…semua berpesta, berdiri dan menari.”
           “WoooooOOoOoOoO…”
           Anggota geng lain membawa sesuatu dari luar. Terlihat tangan mereka memegang botol minuman. Yang Nur tidak asing melihatnya. Itu minuman yang biasa bapak minum. Nur takut. Dia teringat bapaknya dulu.
           “Ayo minum…”
           “Nur…ayo ikut minum. Ini enak loh. Memang si rasanya agak pahit. Tapi ini enak koq. Ayo minum dikit dulu aja, entar gampang kalo mau nambah.”
           “Engga ah…aku ngemil aja sama minum air putih biasa.”
           “Oh…yaudah kalo gak mau mah, aku gak maksa koq, tapi beneran loh! Kamu rugi kalo gak coba sekarang.”
           Suasana menjadi tambah aneh. Semua anggota geng dan Erna sedang minum dan ngemil dan merokok. Nur hanya ikut makan cemilan saja. Dia tidak suka bau seperti ini. Nur melihat Erna membawa suntikan dan menyuntikannya ke lengannya sendiri. Erna meringgis tapi setelah itu dia tidak meringgis saat darahnya di sedot suntikan. Yang lain membawa silet lalu menyayatkannya ke lengan mereka. Darah mengucur ke tangan mereka. Mereka terdiam namun wajah mereka terlihat sangat menikmatinya. Nur terus meringgis melihat teman yang lainnya.
           Tiba-tiba ada tangan besar memegnag pundak Nur. Itu si Majo. Pria terbesar di geng ini. Botak rambutnya, matanya setengah seperti mata Bapak saat lagi. Nur takut.
           “Ayolah…Kamu ngapain disini aja. Ini makan obat deh, biar semangat dan enak badannya terus minum ini.” Lelaki itu memaksa Nur dan menyodorkan benda-benda itu ke arah Nur.
           “Aku gak mau…” Nur menjawab dengan ragu-ragu dan terbata-bata. Sebenarnya dia juga ingin seperti teman-temannya. Menikmati malam minggu ini dengan cara teman-temannya. Dia ingin tapi masih ragu.
           “Ayolah…coba deh…”
           “Yaudah deh, mana?.” Akhirnya Nur memberanikan diri mengambil obat kecil pink itu. Memegang botol yang selalu dibawa bapaknya. Nur mengangkat keduanya dan telah didepan mulut. Nur siap menelan racun itu.
           “ NUUUURRRR…” Suara teriakan terdengar dari dalam kebun. Nur menyimpan benda itu sementara, dan mencari asal suara itu.
           Terlihat siluet wanita berlari ke arah sana. Semakin mendekat, dan itu adalah Rani yang kejam. Untuk apa dia kesini.
           “Nuuuur…ngapain kamu disini,ayo cepet pulang.” Teriak Rani terengah-engah sambil memegang baju Nur dan menariknya untuk pergi.
           “Ngapain Rani kamu kesini. Lepasin aku. Aku lagi seneng-seneng main sama temen-teman aku, jangan ganggu aku terus donk. Lepasin ah…” Nur memberontak
           Rani terdiam dan terus melihat ke depan. Terus menarik baju Nur menuju jalan. Menyeret Nur dengan kasar.
           “Lepasin dia perempuan jalang.” Teriak Majo sambil memegang tangan Nur. Matanya menatap Rani yang cantik.
           “Diam kamu. Kamu jahat udah ngajakin Nur kesini.”
           “Apaan, Kamu Rani yang jahat selalu nyiksa aku terus kalau di rumah. Ngelarang aku buat ngelakuin semua hal. Kamu paling jahat dalam hidupku.” Nur memberontak keras. Mencubit tangan Rani lalu menendangnya, dan melepaskan bajunya dari Rani.
Rani jatuh tersungkur di tengah jalan. Nur terpental karena mencoba melepaskan diri. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara amukan mesin mobil yang sangat cepat. Tak ada lampu dari sana. Mobil itu telah dekat dari Rani dan di hadapannya. Dengan cepat mobil itu menghantam Rani. Bannya menabrak kaki Rani, badannya terpental setelah tertabrak oleh bagian depan Mobil. Nur masih terjatuh dan mendengar suara teriakan Rani. Sekejap saja. Nur bangkit dan melihat Rani penuh darah. Nur takut. Sangat takut. Pengemudi mobil langsung tidak keluar dari mobil. Dia berbalik dan pergi. Rani tidak sadarkan diri. Nur memegang kepla Rani. Tiba-tiba Nur menangis. Dia langsung melepaskan Rani dan pergi mengambil motor matic Erna yang pernah dikendarainya waktu bermain ke rumah Erna. Membawa Rani sendiri ke perkampungan. Disana Rani langsung di bawa ke rumah sakit oleh mobil angkot yang ada. Nur duduk terdiam di samping Rani. Menatap kakaknya yang sekarat. Bajunya dilumuri darah. Dia menangis sendiri. Dia menyesal.
                                                                                # # #
           Nur duduk menunduk disamping Rani yang sudah berganti pakaian. Rani terbangun dan batuk. Nur langsung bangkit.
           “Udah lah jangan banyak gerak dulu.” Nur menahan Rani.
           Rani menatap Nur. Dia langsung tersadar bahwa yang dilihatnya adalah Nur. Adiknya yang selalu dia marahi dan sayangi. Mata Rani merah dan mengeluarkan air mata. Bibirnya menggerak-gerak. Ingin mengucapkan sesuatu. Nur pun mengusap kening kakaknya yang diperban. Nur pun menagis sangat perih melihat kondisi kakaknya.
           “Nnnn…nur….”Rani berucap terbata. Ruangan sangat hening. Hanya mereka berdua. Rani memegang tangan Nur dengan tanggannya yang diinfus. Nur pun balas memegang. Mereka berdua tidak pernah seakrab ini. Begitu hangat.
           “Maafkan aaku Nur. Aku gak bisa jadi kakak yang baik buat kamu.” Rani berkata sambil menangis. Mulutnya kaku, suaranya sangat serak untuk berkata.
           “Engga koq kak Rani. Aku yang salah, suka ngelawan kakak, terus ngiri terus sama kakak. Maaf ya kak. Nur sayang banget sebenarnnya sama kakak. Nur janji bakal nurut terus sama kakak.”
           “Aku harusnya yang minta maaf padamu adikku. Kau adalah harta paling mahal di keluarga. Aku akan menjagamu dengan nyawaku ini. Maaf jika aku berlebihan menjagamu… Kau tak perlu iri padaku, seharusnya akulah yang iri padamu. Kau tidak memiliki apa yang dimiliki anggota keluarga yang lain. Kau tidak terkena virus AIDS yang ditularkan bapak.” Tangisan Rani meledak. Nafasnya melambat. Air matanya terus mengalir. Seharusnya Rani tidak memberitahukan kepada Nur. Nur pun terdiam. Dia memeluk Rani pelan-pelan dan hangat. Kini Nur tau kenapa Rani begitu keras padanya.
           “Aku ingin kau lebih baik dariku Nur, rajinlah belajar. Pergilah pada paman Abdulah disana, dan rawatlah mama dengan baik. Jika aku tidak bisa menemanimu lagi lagi,.” Nafas Rani setengah-setengah.
           “Udahlah kak, kakak jangan bicara lagi. Kakak masih bisa nemenin Nur lagi kok. Bisa kan? Nur gak mau ditinggalin sama anggota keluarga yang lain lagi. kakak satu-satunya yang paling Nur percaya.” Nur menjawab dengan penuh tangisan. Suaranya ikut parau seperti kakaknya.
           Suasana kembali sepi. Hanya ada suara isak tangis dari Nur sendiri. Tangisannya semakin keras dan keras. Terdengar hingga keluar ruangan.
           “Kakak…KAKAK…KAK RANI….RANI…Nur sayang kakak, jangan tinggalin Nur sendiri… KAK Rani Bangun… KAK RANIIIII” Tangisan Nur Meledak. Air matanya membasahi pipinya. Hidungnya begitu perih. Hatinya lebih perih mendapatkan ini. Nur memegang erat baju kakaknya. Memanggilnya, namun Rani tetap tak bergerak. Dia telah pergi meninggalkan Sang Putri sendiri. Nur akan menepati janjinya tadi dengan tangisan ini.
                                                                                      # # #








Continue reading →

Labels

Knowledge (11) Entertain (6) ME... (6) Travelling (5) Insan Cendekia (4) Pictures (4) Storystory (4) Foranza Sillnova (3) IPB (3) Renungan (3) Al Multazam (2) Event (2) Experience (2) Foranza (2) Panglima (2) Pertanian (2) blog (2) Announcment (1) Art (1) Community (1) Family (1) Full Living (1) Herbal (1) IC (1) Special (1)