Kaya batu di dasar sungai, hari ini Gira cuma
mengikuti kemana arah angin mengarahkannya.
Banyak kegiatan hari ini dan selalu sama seperti hari kemarin. Bangun,
sekolah, intensif, ke masjid, belajar malam dan tidur.
“Bosan banget Dul udah jadi kelas tiga,
kerjaannya gitu-gitu doang”
“Makanya coba pacaran, ra.” Abdul berteriak
tak karuan, mengagetkan Gira.
“Lah? Kesurupan makhluk apaan lo?
Bukannya lo udah tau, kakak kelas kita ada yang drop out
gara-gara itu, ini kan sekolah asrama yang berbeasiswa.”
“Katanya
ente bosen kerjaan kelas tiga gitu-gitu aja, ane kasih solusi tuh!”
Pikiran Gira tak terima dengan apa yang telah Abdul
teriakan padanya. Dia memutuskan untuk berlayar di gedung F, gedung asrama putra, membaca lembaran koran yang tercecer di
lantai. Berita hari ini, Obama memenagkan pemilu. Ia menjadi presiden Amerika
Serikat untuk yang kedua kalinya.
“Wah si Obama menang lagi Bem.”
“Baguslah San, daripada Mitt Romney yang banyak
didukung Zionis Israel, masih mending
Obama kan?” Telunjuk jarinya menunjuk capres yang kalah itu.
“Sama baelah kalo menurut gua mah, dua-duanya mendukung
kapitalisme di dunia. Negara-negara berkembang yang gak punya kekuatan
politik bakal tertindas juga, apalagi negara islam yang pengen maju,
bakal terus dikasih tekanan biar berlutut di depan mereka.”
“Gak gitulah, udah jelas Obama yang
pernah makan bakso di Indonesia lebih respect dalam hal kemanusiaan.
Buktinya dia bikin lembaga Obama Care, itukan bukti dia Care. Terus,
banyak pemimpin timur tengah yang lebih mendukung dia buat jadi presiden
Amerika. Pendapat lo salah, ru.”
Gira cuma melongo mendengar ocehan ketiganya. Dia hanya berpikir, tahu apa mereka bertiga
tentang keadaan di dunia luar sebenarnya. Pikiran mereka hanya akan menjadi
debu yang beterbangan tanpa arah dan tujuan.
“Gak boleh bilang gitu Bem,
lu harus bisa menghargai pendapat orang lain, itu menunjukan kualitas lo
sebagai manusia yang berpendidikan, apa lagi si Fahru temen lo, yang
tiga tahun sekamar sama lo, dan gua rasa, kalian bakal terus
sekamar ampe tua kelak.” Gira terkejut mendengar jawaban Hasan yang
tidak langsung menusuk pikirannya dan mebunuhnya secara sadis .
“Iiiihhh... Nasib gua emang kurang
beruntung sekamar sama Fahru!”
“Mana mau gua sekamar sama lo
terus Bem, mending sekamar sama kucing yang suka nongkrong di kantin.”
“Ibem, Fahru, kalian harusnya akur dong!
udah tiga tahun.” Hasan tersenyum menyindir keduanya. Ibem dan Fahru
melihat tajam pada Hasan.
Ocehan ketiga sekawan ini mulai ngawur, Gira mulai
bosan mendengarnya. Ia kembali berlayar mengarungi lorong-lorong gedung F.
Meninggalkan para politisi yang sedang berlabuh di pusat informasi.
“Nomor ini berapa Gal?”
“Ini jawabannya udah dibahas dikelas gua,
tadi siang...”
Gira melewati pelabuhan itu, jenuh mendengar
kabar nomor berapa ini dan itu. Dengan langkah kucingnya, dia berlabuh di
pelabuhan lain berharap mendapatkan buah tangan yang bisa dibawa pulang ke
kamar.
“Woo... Farhan baru pulang dari lomba,
bawa makanan lagi.” Buah tangan yang seperti ini yang dia cari.
“Oops, juara berapa lomba matematikanya? Pertama? Alhamdulillah, selamat bos. Kapan
traktirannya? Temen sekelas pada nungguin tuh, eh, traktir kamar dulu ya,
habis itu kelas terus angkatan kan?” Farhan
hanya tersenyum dan mangut-mangut menanggapi kawannya.
Gira yang tadinya akan meminta buah
tangan, menarik kembali niatnya
tersebut. Memandang senyuman kemenangan dari Farhan membuatnya senang, namun
memandang kawan lainnya dia kecewa. Pengemis!
Gira kembali mencari harta karun yang
dicarinya, walaupun dia tidak tahu macam dan tempat harta karun itu.
Berputar-putar bolak-balik utara dan selatan, ia berlabuh di pelabuhan yang
sepi. Balkon, di kamar 202 F. Memandang biru tuanya langit bertaburan awan dan
asap kota yang menghalangi cahaya rembulan dan bintang. Memikirkan hal yang membuat dadanya sesak.
“Kenapa ngelamun Gir?” Elgad datang
tiba-tiba dari kamar sebelah. Membuyarkan lamunan.
“Oya Gir, gua lagi galau nih, boleh kan
gua duduk samping lo?” Gira hanya mangut-mangut.
“Tau gak Gir, mau jadi apa bangsa ini
ke depan? Korupsi lah, tawuran lah. Okelah Indonesia ini
negara kaya tapi kalau pengolahnya cuma bisa korup dan tawur mau jadi apa negri
ini.” Elgad menceritakan kegalauannya pada orang yang salah. Kawannya itu hanya
memandang ke langit.
“Gue pengen ubah semuanya. Lewat pendidikan Gir. Gua
pengen membangun sekolahan kaya Insan Cendekia yang tercinta ini
Gir. Tapi tentunya yang lebih bagus lah.” Gira hanya mendehem.
“Guru dan murid lebih akrab Gir, biar ada mosi
saling percaya antara golongan tua dan muda. Selain itu, di sekolahnya keadilan
harus ditegakan setinggi-tingginya .” Gira sudah mengiranya bahwa Elgad sedang
tidak senang pada sekolah ini. Sementara itu, suara gesekan dahan turut menemani
mereka.
“Gir udah tahu belum? Amir, mantan ketua
MPS kita, besok... Dia mau pulang duluan ke rumah. Dia di drop
out Gir.” Gira mengalihkan pandangannya cepat pada Elgad dengan serius.
“Beneran Gad? Emang kenapa dia bisa dikeluarin?”
Gira kaget tak terbayangkan.
Memang beberapa bulan yang lalu, Amir telah
diskors selama satu minggu. Karena melanggar peraturan tingkat empat. Skorsing
itu menyebabkan nilainya hancur lebur. Dia tidak masuk saat pekan ulangan dan
tertinggal materi yang akan diujikan untuk UTS pada minggu setelah pekan ujian.
Kini apa yang telah Amir lakukan? Oh tuhan, benarkah orang seperti itu
melakukan hal konyol yang dapat mengeluarkannya dari tempat ini.
“Dia bawa handphone ke asrama. Itu
pelanggaran tingkat tiga, setingkat dibawah pelanggaran ke empat yang dia
lakuin sebelumnya.” Atas dasar kebodohan
apa dia nekad melakukan itu? Sudah tahu bahwa ini sekolah beasiswa yang punya
peraturan ketat tak terkira. Masih berani dia melakukan itu. Bahkan Gira pun
tak berani melakukan pelanggaran tingkat
satu. Sudahkah dia bosan sekolah disini?
“Gir, dia pernah bilang sama gua, dia
muak Gir. Dia merasa gak mendapatkan keadilan di sekolah ini. Terutama
pas kasus pelanggaran tingkat empatnya itu. “ Dia menyalahkan sekolah, Amir itu
menyalahkan institusi yang membuatnya pintar. Bahkan tanpa membayar.
“Dia mengaku dia salah besar Gir, tapi dia
tetap merasa sebuah kebenaran dan keadilan ada yang disembunyikan.” Inilah yang
dinamakan buruk sangka. Tak akan ada buntut dari permasalahan.
“Kenapa dia gak melawan? Kenapa dia
Cuma diam dan malah melanggar lagi?”
“Dia bilang kita apel dan mereka durian. Kalau
kita menyerang kita yang hancur, dan kalau mereka menyerang, kita tetap hancur
Gir. Pelanggaran terakhir yang dilakukannya, karena dia kurang perhatian terhadap peraturan di
sekolah ini. Dia masih sakit hati.” Tetap saja Gira merasa aneh terhadap Amir,
mantan ketua MPS, ketua sebuah organisasi yang menuntut sebuah contoh dan
tauladan untuk dikerjakan. Dimanapun, kapanpun. Kini, ketua itu masuk dalam
kubangan penuh kotoran babi. Tak seorang pun ingin mendekatinya. Juga
tak seorang pun tahu apa isi hatinya.
“Biarlah Gir,
nasibnya dia emang kaya gitu. Gua yakin yang terbaik buat dia, ya...
yang kaya gitu Gir.” Nafasnya berhembus pelan-pelan, melepas masalah
yang dibicarakan. Sejenak mereka membisu, hanya suara angin dan gesekan dahan
yang terdengar.
“Mending
banget lo ada di sini, ada apa? Lagi mikir apaan Gir? Gua pengen
tau yang dipikirin orang ganteng, pinter, atletis kaya lo. Cewe
ya?” Dada Gira tiba-tiba sesak kembali, mendengar kata-kata terakhir yang Elgad
katakan. Namun, garis-garis wajahnya tidak nampak kaget. Ditutupi oleh suasana
remang-remang. Gira serasa ingin beranjak dari pelabuhan itu dan kembali
berlayar.
“Gua pengen
balik ke kamar, udah ngantuk
nih.” Alasan klasik dipilih Gira untuk beranjak.
“Ok deh, Gir, kayaknya si Dita suka sama lo,
dia ngeliatin lo terus pas kemarin.”
“Mungkin dia
benci dan pengen ngebunuh gua. Ngeliatin gua
dan mencari kesempatan untuk menerkam.” Gira Jawab asal, dengan menahan dadanya
yang terhunus.
“Lo
juga suka dia ya? Gira?” Gira pergi meninggalkan Elgad, menuju kamarnya.
Sementara Elgad berteriak dari belakang memanggilnya. Namun, teriakannya itu tertutupi oleh badai
yang berkecamuk dalam hati Gira.
***
Rabu, 10 Oktober 2010, 203 F, MAN Insan Cendekia Serpong, 22:00
WIB
Waw, hampir
tiga bulan tidak menulis Si Biru ini. Tiba-tiba saja pengen nulis. Bukan nulis
kejadian satu, dua hari, minggu, bulan,
yang lalu. Aku ingin menuliskan malam ini. Malam penuh awan dan asap. Berjalan
silih berganti.
Malam ini,
tak pernah aku menjalani sebelumnya. Aku telah menutup mata terhadap semua
kejadian di dunia ini. Hampir malam-malam lalu, aku lewati dengan hanya belajar
untuk mendapatkan nilai yang diharapkan. Tanpa menengok sedikit pun pada para
politisi, pengemis, pemenang, pengecut, dan
kawan lainnya. Oh tuhan, mataku tidak buta, telingaku tidak tuli, tapi
aku tak tahu kabar di luar diriku sendiri.
Akhirnya,
tetap dalam pikiranku hanya dua hal, pelajaran dan cinta.
Ya, sedikit
melankolis. Saat Elgad mengatakan namanya, dadaku sesak, mual, ingin
kukeluarkan semuanya. Inikah yang namanya cinta? Belum sempat kulihat wajahnya,
baru kudengar namanya, dada ini sudah sesak. Akankah aku mati dihadapannya saat
ku memandang indah matanya.
Pada akhirnya
aku hanya seorang pengecut. Tak berani mengakui, berlari menjauh, bagaikan
kelinci dikejar sang elang. Seharusnya aku berani, karena ku tau dia melihat
padaku lama waktu itu, dan akan menunduk padaku. Tapi sayang, aku hanya seorang
kelinci yang takut mendekati indahnya
mata elang.
Sepertinya sudah malam.
Aku masih bosan.
Dan ingin tidur menjalani mimpi
yang tak pernah nyata.
“Temukan dunia dengan berlayar kemanapun tanpa
menengok ke belakang, kau akan menemukan harta karunmu sendiri. Yang orang lain
tak akan dapat.”
***
Posting Komentar