Minggu, Agustus 21

Bayang-Bayang

2 komentar
            Matahari mencuat dari sarangnya.Sang ayam berkokok menyambut kedatangannta. Seakan semua unsur bersuka menyambut sang mentari pagi. Garis terang gelap cahaya matahari menempel di wajah sang putri. Mengggeliat menyambut sinarnya. Mengucek kedua mata bulatnya. Menarik nafas dalam-dalam meregangkan ototnya. Mengumpulkan semua nyawanya yang hilang tadi malam.
           “Bangun Nuuur!!! Udah pagi. Cepet berangkat sekolah! Kamu telat kalau sekarang masih tiduran kaya gitu.”. Rani berteriak seperti biasa. Memarahinya selalu. Membentaknya sering. Tapi ini semua wajar. Nur adalah anak kedua dari dua bersaudara. Rani kakaknya. Bapak kabur entah kemana. Mama terlalu muda untuk stress. Keluarga ini kacau balau. Mama sudah sangat memprihatinkan. Beliau tak bisa apa-apa. Fisiknya memang sehat tapi, sudah tak waras. Rani dan Nur tetep mencintainya walau begitu. Karena dialah yang dulu pernah melindungi mereka dari bapak yang kejam. Bapak rela meninggalkan keluarganya hanya demi nafsu semu belaka. Rani dan Nur pernah hampir dibunuhnya karena hal sepele. Untung ada ibu melindungi mereka. Sudahlah, ayah memang sang pemabuk sejati yang dapat membahayakan siapapun jika dia sedang.
            “Iyaaa…aku dah bangun nhe”. Nur membalas membentak Rani. Mereka tak pernah akur.
            “Cepetan mandi.” Rani menarik tangan Nur dengan kasar hingga menjatuhkan tubuh Nur ke lantai rumah yang dingin.
           “Aduh…Sakit wooy.”
            “Udah jam setengah tujuh!”
             Nur berjalan bergontai. Penuh kemalasan menuju hari ini. Berbalik dengan yang lain. Dia selalu berpikir hidupnya layak sampah tak berguna. Memang kasian Nur ini. Banyak siksaan hidup menemuinya. Hidup penuh dibawah tekanan. Bapaknya yang kejam, ibunya yang sakit, kakaknya yang galak, orang-orang yang selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya. Dia paling benci jika dibandingkan dengan kakaknya. Dia tahu kakaknya lebih pintar darinya, lebih cantik darinya, lebih lebih darinya. Dia hanya ingin,”aku ya…aku, aku beda sama Rani.” Tapi orang tidak mengindahkannya.
           Sarapan pagi selalu biasa. Nur membuat sarapannya sendiri. Nasi dan garam dapur. Nur dan Rani dan Mama sudah biasa hanya makan nasi dan garam. Karena dulu bapak tak pernah membari lebih. Mama sudah banyak bersabar hingga otaknya pun sudah tidak waras. Terkadang Nur prihatin juga melihat mamanya tiap hari terdiam. Diajak ngomong hanya diam. Dia sangat sedih. Nur yang keras hanya berpikir “Kenapa mama mau menikah dengan lelaki seperti bapak.” Nur tak pernah mengerti.
                                                                      # # #
           Seragam putih biru menempel di tubuh Nur. Seragam itu rapi, padahal Nur tidak punya setrika listrik yang canggih. Nur duduk di SMP. Prestasinya tak begitu membanggakan, tak seperti kakaknya di SMA sebrang sana. Dia suka main dengan anak-anak berandal. Tapi ketika pulang sekolah, Nur jarang bermain bareng mereka. Nur lebih sering diam dirumah.
          “Nur, malem minggu maen bareng yuk! Jalan-jalan bareng temen-temen.” Ajak Erna si Darah biru di Gengnya.
          “Aku gak bisa maen malem-malem Erna. Si Rani suka ngelarang aku habis-habisan supaya gak keluar rumah malem-malem. Apalagi kalau buat maen doank. Dia bakalan nahan lebih jauh.”
             “Elah…Rani doank. Kenapa si dia ngelarang kamu habis-habisan. Kamu kan punya hak sendiri. Gak bisa dibatesin sama dia donk. Itu melanggar HAM.” Celoteh Erna sok tau.
           “Tau ah! Kesel sama si Rani.”
           “Yaudah deh, nanti malem minggu aku jemput ke rumahmua. Bareng banyak temen, supaya Rani malu. Kalau dia marah-marah di depan kita.”
           “Semoga aja bisa. Tapi mungkin, bisa dicoba. Oke deh, tunggu nanti malem ya.” Nur tersenyum. Dia tidak sabar untuk malam ini. Erna akan datang menjemputnya dan dia bisa keluar dan bebas dari rumahnya dan dari Rani tentunya. Nur begitu berambisi. Untuk mencapai kebebasannya. Nur memang tidak pernah tahu apa-apa. Padahal dia adalah seorang putri. Bagian yang sangat berharga jika di kerajaan. Tidakkah dia memperhatikan? Mungkin, dia terlalu sibuk untuk berpikir karena selalu dimarahi Rani yang sangat kejam.
                                                                  # # #
              Matahari telah raib di langit sana. Langit pun gelap. Ditempeli bintang sebagai sebagai hiasnya dan bulan yang menggantikan matahari. Angin hilir mudik melewati telinga dan rambut Nur yang panjang. Nur terus nongo di luar jendela. Terus menunggui Erna dan gengnya. Ini merupakan pertama kalinya Nur berencana main dna keluar malem. Dia selalu merasa takut karena Rani. Kini Nur bertekad. Dia ingin mendapatkan haknya. Tidak mau terus diatur layaknya anak-anak.
               “Nur…!!! Ayo maen.” Terdengar suara Erna mengendap ke gendang telinganya. Nur melihatnya dari jendela. Nur langsung turun dari kasur kerasnya dan lari menuju pintu rumah.
           “Mau kemana?” Rani bertanya dengan duduk santi menonton televisi kecil yang hitam putih. Meminum teh hangatnya. Menyipitkan matanya ke arah Nur.
           “Aku mau maen sama temen yang laen. Bosen aku di rumah terus.” Nur menjawab sambil berlalu ke arah pintu rumah. Rani tersenyum licik melihat adiknya.
           Nur telah sampai di depan pintu rumahnya. Memegang gagang pintunya. Dia bergetar, Rani tidak menghalanginya untuk memegang gagang pintunya. Nur mendorong pintunya. Tertahan dan keras tak terbuka. Terkunci. Nur tidak menyadari pintunya terkunci. Daia terlalu berharap bisa keluar dari sini. Nafasnya menjadi terengah-engah. Ujung bibirnya yang tadi keatas, kini berubah kebawah dan tak berbentuk.
           “Mana kuncinya Ni? Aku pengen keluar sama temen yang laen. Mereka udah nungguin aku di luar. Cepetan mana kuncinya.” Teriak Nur ke arah Rani. Wajahnya tambah keras. Dia sudah tidak sabar. Matanya menajam menatap Rani yang sedang santai menikmati malamnya sendiri.
           “Kenapa tanya aku, aku gak tau dan dari tadi aku duduk disini gak liat adanya kunci. Cari aja sendiri sana.” Jawab Rani mengejek Nur. Rani tak pernah mengizinkan Nur pergi keluar malam.
           “Bohong!!! Jangan ngelarang aku buat maen. Aku punya hak yang gak bisa ditahan sama orang laen. Jangan maksa sama ngatur aku terus, aku bukan anak kecil lagi. Tau gak sih!” Nur marah besar dan berteriak begitu saja kepada kakaknya.
           “Hak apaan sie? Kamu memang punya hak, tapi kamu memang belum gede, masih kecil. Jangan sombong de! Baru 14 tahun aja udah belagunya minta ampun. Udahlah…kamu dirumah aja, jangan kemana-mana.” Bentak Rani tak kalah kerasnya.
           Tiba-tiba Nur terdiam. Matanya berkaca-kaca. Hidungnya perih. Dia tidak tau mengapa seperti ini. Akhirnya dia tidak bisa menahan lebih lama lagi. Nur meledak dan menangis. Tidak bisa berkata-kata lagi untuk membalas Rani. Nur berlari ke kemarnya. Menjatuhkan diri ke kasurnya yang keras. Membanting pintu kamar. Sendirian. Berpikir, kenapa Rani begitu menahannya padahal dia bukan ibunya. Kenapa hidup ini terasa tidak adil baginya. Dia tersiksa, dia ingin seperti Erna yang bahagia dengan keluarganya.
           Erna dan gengnya masih menunggu di depan pagar kayu rumah. Nur menatap ke luar jendela. Menyapu air matanya yang jatuh ke pipinya. Jendela!!! Pikirnya. Jendela ini cukup untuk meloloskan tubuhnya. Tekad Nur masih ada. Dia ingat Rani, tapi kini dia membencinya sangat, tidak mempedulikannya lagi. Nur ingin bebas menari-nari di bumi melihat keindahan dunia luar yang belum pernah dia lihat. Nur sudak tidak tahan berdiam disini. Mengganti bajunya lalu melompati jendela kamar dengan perlahan. Mengendap menuju pagar rumah agar Rani tidak mendengar suara dari luar. Membuka pagar dengan perlahan. Menyuruh Erna untuk diam. Berhasil!!! Dia diluar rumah sekarang. Erna dan gengnya bergegas menyalakan mesin motornya. Nur pun berlalu dengan dibonceng Erna.            Dia menatap ke belakang dan tertawa berbahak dengan yang lain. Nur senang tak terkira. Walaupun akhirnya dia sadar dia akan di marahi habis-habisan oleh Rani saat pulang. Tapi dia ragu untuk kembali.
           Tibalah Nur dan kawan-kawannya di sebuah tempat sepi. Nur sedikt takut. Tapi Erna dan lima teman lainnya hanya tertawa dan saling bercerita. Tempat itu gelap, sudah dihidupi lumut dindingnya. Ini rumah bekas yang tidak digunakan lagi karena kebakaran. Terletak jauh dari kumpulan warga. Menyendiri di samping jalan di tengah kebun jati. Sekitarnya terlihat, semak-semak berkumpul menunduk dari sinar bulan.
           Erna mengajak duduk Nur. Geng duduk berputar. Membentuk lingkaran, Nur berbaur dengan mereka. Erna tersenyum berusaha membuat suasana seram ini menjadi kegembiraan di malam minggu. Salah satu anggota geng menyalakan musik dan speaker yang dinyalakan keras-keras. Musik hardrock yang metal diputarkan. Beberapa mengangguk-angguk mengikuti irama. Nur mencoba gembira dengan mereka. Akhirnya Nur bisa masuk dan bergembira disini. Erna mengeluarkan makanan dari tansnya. Semua makan dan mengobrol hal yang tak jelas. Makanan ini enak pikir Nur.
           “Ayo…semua berpesta, berdiri dan menari.”
           “WoooooOOoOoOoO…”
           Anggota geng lain membawa sesuatu dari luar. Terlihat tangan mereka memegang botol minuman. Yang Nur tidak asing melihatnya. Itu minuman yang biasa bapak minum. Nur takut. Dia teringat bapaknya dulu.
           “Ayo minum…”
           “Nur…ayo ikut minum. Ini enak loh. Memang si rasanya agak pahit. Tapi ini enak koq. Ayo minum dikit dulu aja, entar gampang kalo mau nambah.”
           “Engga ah…aku ngemil aja sama minum air putih biasa.”
           “Oh…yaudah kalo gak mau mah, aku gak maksa koq, tapi beneran loh! Kamu rugi kalo gak coba sekarang.”
           Suasana menjadi tambah aneh. Semua anggota geng dan Erna sedang minum dan ngemil dan merokok. Nur hanya ikut makan cemilan saja. Dia tidak suka bau seperti ini. Nur melihat Erna membawa suntikan dan menyuntikannya ke lengannya sendiri. Erna meringgis tapi setelah itu dia tidak meringgis saat darahnya di sedot suntikan. Yang lain membawa silet lalu menyayatkannya ke lengan mereka. Darah mengucur ke tangan mereka. Mereka terdiam namun wajah mereka terlihat sangat menikmatinya. Nur terus meringgis melihat teman yang lainnya.
           Tiba-tiba ada tangan besar memegnag pundak Nur. Itu si Majo. Pria terbesar di geng ini. Botak rambutnya, matanya setengah seperti mata Bapak saat lagi. Nur takut.
           “Ayolah…Kamu ngapain disini aja. Ini makan obat deh, biar semangat dan enak badannya terus minum ini.” Lelaki itu memaksa Nur dan menyodorkan benda-benda itu ke arah Nur.
           “Aku gak mau…” Nur menjawab dengan ragu-ragu dan terbata-bata. Sebenarnya dia juga ingin seperti teman-temannya. Menikmati malam minggu ini dengan cara teman-temannya. Dia ingin tapi masih ragu.
           “Ayolah…coba deh…”
           “Yaudah deh, mana?.” Akhirnya Nur memberanikan diri mengambil obat kecil pink itu. Memegang botol yang selalu dibawa bapaknya. Nur mengangkat keduanya dan telah didepan mulut. Nur siap menelan racun itu.
           “ NUUUURRRR…” Suara teriakan terdengar dari dalam kebun. Nur menyimpan benda itu sementara, dan mencari asal suara itu.
           Terlihat siluet wanita berlari ke arah sana. Semakin mendekat, dan itu adalah Rani yang kejam. Untuk apa dia kesini.
           “Nuuuur…ngapain kamu disini,ayo cepet pulang.” Teriak Rani terengah-engah sambil memegang baju Nur dan menariknya untuk pergi.
           “Ngapain Rani kamu kesini. Lepasin aku. Aku lagi seneng-seneng main sama temen-teman aku, jangan ganggu aku terus donk. Lepasin ah…” Nur memberontak
           Rani terdiam dan terus melihat ke depan. Terus menarik baju Nur menuju jalan. Menyeret Nur dengan kasar.
           “Lepasin dia perempuan jalang.” Teriak Majo sambil memegang tangan Nur. Matanya menatap Rani yang cantik.
           “Diam kamu. Kamu jahat udah ngajakin Nur kesini.”
           “Apaan, Kamu Rani yang jahat selalu nyiksa aku terus kalau di rumah. Ngelarang aku buat ngelakuin semua hal. Kamu paling jahat dalam hidupku.” Nur memberontak keras. Mencubit tangan Rani lalu menendangnya, dan melepaskan bajunya dari Rani.
Rani jatuh tersungkur di tengah jalan. Nur terpental karena mencoba melepaskan diri. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara amukan mesin mobil yang sangat cepat. Tak ada lampu dari sana. Mobil itu telah dekat dari Rani dan di hadapannya. Dengan cepat mobil itu menghantam Rani. Bannya menabrak kaki Rani, badannya terpental setelah tertabrak oleh bagian depan Mobil. Nur masih terjatuh dan mendengar suara teriakan Rani. Sekejap saja. Nur bangkit dan melihat Rani penuh darah. Nur takut. Sangat takut. Pengemudi mobil langsung tidak keluar dari mobil. Dia berbalik dan pergi. Rani tidak sadarkan diri. Nur memegang kepla Rani. Tiba-tiba Nur menangis. Dia langsung melepaskan Rani dan pergi mengambil motor matic Erna yang pernah dikendarainya waktu bermain ke rumah Erna. Membawa Rani sendiri ke perkampungan. Disana Rani langsung di bawa ke rumah sakit oleh mobil angkot yang ada. Nur duduk terdiam di samping Rani. Menatap kakaknya yang sekarat. Bajunya dilumuri darah. Dia menangis sendiri. Dia menyesal.
                                                                                # # #
           Nur duduk menunduk disamping Rani yang sudah berganti pakaian. Rani terbangun dan batuk. Nur langsung bangkit.
           “Udah lah jangan banyak gerak dulu.” Nur menahan Rani.
           Rani menatap Nur. Dia langsung tersadar bahwa yang dilihatnya adalah Nur. Adiknya yang selalu dia marahi dan sayangi. Mata Rani merah dan mengeluarkan air mata. Bibirnya menggerak-gerak. Ingin mengucapkan sesuatu. Nur pun mengusap kening kakaknya yang diperban. Nur pun menagis sangat perih melihat kondisi kakaknya.
           “Nnnn…nur….”Rani berucap terbata. Ruangan sangat hening. Hanya mereka berdua. Rani memegang tangan Nur dengan tanggannya yang diinfus. Nur pun balas memegang. Mereka berdua tidak pernah seakrab ini. Begitu hangat.
           “Maafkan aaku Nur. Aku gak bisa jadi kakak yang baik buat kamu.” Rani berkata sambil menangis. Mulutnya kaku, suaranya sangat serak untuk berkata.
           “Engga koq kak Rani. Aku yang salah, suka ngelawan kakak, terus ngiri terus sama kakak. Maaf ya kak. Nur sayang banget sebenarnnya sama kakak. Nur janji bakal nurut terus sama kakak.”
           “Aku harusnya yang minta maaf padamu adikku. Kau adalah harta paling mahal di keluarga. Aku akan menjagamu dengan nyawaku ini. Maaf jika aku berlebihan menjagamu… Kau tak perlu iri padaku, seharusnya akulah yang iri padamu. Kau tidak memiliki apa yang dimiliki anggota keluarga yang lain. Kau tidak terkena virus AIDS yang ditularkan bapak.” Tangisan Rani meledak. Nafasnya melambat. Air matanya terus mengalir. Seharusnya Rani tidak memberitahukan kepada Nur. Nur pun terdiam. Dia memeluk Rani pelan-pelan dan hangat. Kini Nur tau kenapa Rani begitu keras padanya.
           “Aku ingin kau lebih baik dariku Nur, rajinlah belajar. Pergilah pada paman Abdulah disana, dan rawatlah mama dengan baik. Jika aku tidak bisa menemanimu lagi lagi,.” Nafas Rani setengah-setengah.
           “Udahlah kak, kakak jangan bicara lagi. Kakak masih bisa nemenin Nur lagi kok. Bisa kan? Nur gak mau ditinggalin sama anggota keluarga yang lain lagi. kakak satu-satunya yang paling Nur percaya.” Nur menjawab dengan penuh tangisan. Suaranya ikut parau seperti kakaknya.
           Suasana kembali sepi. Hanya ada suara isak tangis dari Nur sendiri. Tangisannya semakin keras dan keras. Terdengar hingga keluar ruangan.
           “Kakak…KAKAK…KAK RANI….RANI…Nur sayang kakak, jangan tinggalin Nur sendiri… KAK Rani Bangun… KAK RANIIIII” Tangisan Nur Meledak. Air matanya membasahi pipinya. Hidungnya begitu perih. Hatinya lebih perih mendapatkan ini. Nur memegang erat baju kakaknya. Memanggilnya, namun Rani tetap tak bergerak. Dia telah pergi meninggalkan Sang Putri sendiri. Nur akan menepati janjinya tadi dengan tangisan ini.
                                                                                      # # #








2 Responses so far

  1. Unknown says:

    Galang?
    apaan ini gal?

Labels